LPSK RI Serahkan Dana Restitusi kepada Korban TPPO, Pokja MPM Sampaikan 6 Catatan Penting

Ia direkrut oleh calo atas nama Stanis Mamis dan Eustakius Rela dengan modus menjadi pekerja rumah tangga.
Proses penyerahan dana restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atas nama Maria Susanti Wangkeng di Ruang Kejaksaan Negeri Ngada, Kabupaten Ngada, NTT, Rabu (31/01/2025)/HO

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) RI menyerahkan dana restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) atas nama Maria Susanti Wangkeng di Ruang Kejaksaan Negeri Ngada, Kabupaten Ngada, NTT, Rabu (31/01/2025). Penyerahan dilakukan oleh Wakil LPSK RI Antonius PS Wibowo.


Kordinator Pelaksana Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (Pokja MPM) LPSK RI, Greg R. Daeng, menjelaskan, Maria adalah anak korban perdagangan orang yang direkrut dan dipekerjakan secara paksa di Jakarta sejak tahun 2015 - 2017 silam.

Ia direkrut oleh calo atas nama Stanis Mamis dan Eustakius Rela dengan modus menjadi pekerja rumah tangga.

"Selama bekerja, Maria tidak mendapatkan upahnya secara utuh, ketiadaan kontrak kerja, dan sering mendapatkan perlakuan diskriminasi serta eksploitasi dari majikannya," jelas Greg dalam keterangan yang diterima awak media, Rabu malam.

Kini kedua perekrut itu sudah divonis bersalah dan dipenjara selama 4 tahun 8 bulan.

Kata dia, melalui bantuan LPSK RI, para pelaku akhirnya memberikan restitusi kepada Maria melalui vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bajawa ada akhir Desember 2023 lalu.

Setelah putusan tersebut, Kejaksaan Negeri Bajawa bersama LPSK RI selanjutnya menyerahkan dana restitusi kepada korban.

Selaku pendamping korban, pihak Greg kemudian menyatakan sikap, pertama, memberikan apresiasi kepada LPSK RI yang sejak awal memberikan atensi terhadap kasus ini. Terutama dalam hal perlindungan bagi korban dan memfasilitasi untuk mendapatkan restitusi.

Kedua, Greg mengucapkan terima kasih kepada Kejaksaan Negeri Ngada yang telah secara maksimal melakukan penuntutan terhadap pelaku dan kini telah divonis penjara 4 tahun 8 bulan.

Ketiga, secara kelembagaan, dalam kerja-kerja pembelaan kepada korban perdagangan manusia di Indonesia, khususnya NTT, pihak Greg akan terus mengawal kasus-kasus serupa ke depannya.

"Karena biar bagaimana pun, NTT sampai saat ini masih menjadi lumbung pekerja migran yang rentan dengan praktik-praktik perdagangan manusia," pungkas Greg.

Keempat, belajar dari kasus santi yang cukup serius ini dan memakan waktu yang cukup lama memberikan refleksi tersendiri untuk semua pihak bahwa selain pembuktian yang memiliki tantangan tersendiri, juga soal komitmen aparat penegak hukum dalam memberikan atensi serius kepada kasus TPPO yang ditangani.

Kelima, Greg mendesak kepada seluruh jajaran aparat penegak hukum di NTT, termasuk di wilayah kerja Kabupaten Ngada untuk secara serius melakukan pencegahan dan penanganan masalah perdagangan manusia yang saat ini sudah menjadi satu fenomena serius.

Keenam, dia juga mendesak aparat penegak hukum untuk memberikan kesempatan justice collaborator kepada para pelaku perdagangan manusia, agar peluang untuk membongkar jaringan atau sindikat trafficking in person di NTT dapat diberangus sampai ke akar-akarnya.

Greg berharap dengan kasus ini menjadi rujukan bersama bahwa korban tidak hanya memperoleh keadilan dengan pelaku dimasukkan ke penjara, tetapi hak-hak lainnya juga ikut terjamin melalui fasilitasi negara.

"Mari kita sama-sama berantas mafia perdagangan manusia di bumi Flobamorata. Salam stop bajual orang NTT," ajak Greg.